Pembelajaran di SMA

BAB I

PENDAHULUAN

 Pemberlakuan peraturan dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi pendidikan menuntut adanya upaya pembagian kewenangan dalam berbagai bidang pemerintahan. Hal tersebut membawa implikasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1.   Diversifikasi kurikulum yang merupakan proses penyesuaian, perluasan, pendalaman materi pembelajaran agar dapat melayani keberagaman kebutuhan dan tingkat kemampuan peserta didik serta kebutuhan daerah/lokal dengan berbagai kompleksitasnya.

2.   Penetapan Standar Kompetensi (SK), yang dimaksudkan untuk menetapkan ukuran minimal atau secukupnya, yang mencakup kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dilakukan, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan secara maju dan berkelanjutan sebagai upaya kendali dan jaminan mutu.

3. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Provinsi/ Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi yang merupakan pijakan utama untuk lebih memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan potensi daerah yang bersangkutan.

Untuk merespon ketiga hal tersebut di atas, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah melakukan penyusunan Standar Isi (SI), yang kemudian dituangkan kedalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 tahun 2006, yang mencakup kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar:

1.   Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan.

2.   Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta didik yang cakupan materinya lebih sempit/spesifik dibanding dengan SK.

Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bemartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional harus tercermin pada kurikulum dan sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Standar kompetensi lulusan (SKL) suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional mencakup komponen ketakwaan, akhlak, pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, dan kewarganegaraan. Berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar memiliki  kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut menyejahterakan masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan serta berperilaku yang baik sesuai  standar yang ditetapkan. SKL merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, seni, serta pergeseran paradigma pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik.

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan bagian dari Standar Isi (SI) adalah isi atau materi kurikulum yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan dalam kurung waktu tertentu secara optimal, guna mencapai tujuan pendidikan yang termuat dalam SKL. Optimalisasi pencapaian tujuan dan isi kurikulum didukung oleh standar yang lain dalam sebuah sistem yang utuh, diantaranya Standar Proses.

Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada sa­tuan pendidikan dasar dan menengah. Standar Proses mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pem­belajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk ter­laksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompe­tensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembela­jaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Implikasinya adalah Pendidik berkewajiban menyusun perangkat pembelajaran mulai dari silabus dan RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Hal ini sesuai dengan kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 16 tahun 2007. Standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti  guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru mata pelajaran SMA. Sebagai contoh pada kompetensi inti guru dalam mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu, dikembangkan menjadi: (1)memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, (2)menentukan tujuan  pembelajaran yang diampu, (3)menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diampu, (4) memilih materi pembelajaran yang diampu yang terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan pembelajaran,(5) menata materi pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta didik dan, (6) mengembangkan indikator dan instrumen penilaian.

Secara umum, hasil pendidikan kita belum memuaskan. Hal itu tampak pada hasil survei beberapa lembaga internasional berkenaan dengan tingkat daya saing sumber daya manusia kita dengan negara-negara lain. Berdasarkan bukti hasil survei World Competitiveness Year Book dari 1997-2007 yang menyurvei 47 negara. Pada 1997 pendidikan Indonesia di urutan 39. Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara, Indonesia di urutan 47, dan pada 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-53. Sementara itu menurut laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2005 posisi Indonesia pada peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik.  (http://www.surya.co.id/2010/05/03/ kualitas-pendidikan.html).

Selain itu menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP) yang menyatakan kualitas SDM Indonesia menempati urutan 109 dari 177 negara di dunia, sedangkan menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas sistem pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Laporan dalam The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dilucurkan Forum Ekonomi Dunia pekan lalu menyebutkan, indeks daya saing global atau global competitiveness index (GCI) Indonesia meningkat. Pada tahun ini, GCI Indonesia berada di posisi ke-44 dari 139 negara, sedangkan tahun lalu di peringkat ke-54 dari 133 negara. Adapun sejumlah negara tetangga Indonesia berada pada peringkat yang lebih baik. Singapura berada di posisi ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28, dan Thailand di posisi ke-38.

Pembaharuan pendidikan di Indonesia harus terus dilakukan. Perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu dan berkesinambungan, yang adaptif terhadap perubahan zaman. Rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia itu tidak lepas dari hasil-hasil yang dicapai oleh pendidikan kita selama ini. Harus diakui, masih banyak persoalan yang dihadapi dunia pendidikan kita. Selama ini hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan anak-anak menghafal fakta. Walaupun banyak anak mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, pada kenyataannya mereka sering tidak memahami secara mendalam substansi materinya. Pertanyaannya, bagaimana pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru ? Hal itu harus disadari benar oleh pengembang pendidikan di Indonesia.

Naskah pembelajaran SMA ini disusun sebagai referensi bagi pendidik dalam menyusun perangkat pembelajaran sehingga peserta didik memperoleh layanan pembelajaran yang baik dan bermutu. Selanjutnya, Satuan Pendidikan memiliki administrasi pembelajaran yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan. Naskah ini sebagai kerangka utama dari dokumen pembelajaran yang telah dikembangkan, memperkuat implementasi KTSP dalam pengembangan silabus, RPP, indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penyusunan bahan ajar serta mengoptimalkan pemahaman dan hasil kerja Pendidik dalam menyusun dan melaksanakan pembelajaran.  Dalam naskah pembelajaran ini akan dibahas tentang konsep pembelajaran, strategi dan implementasi pembelajaran serta evaluasi pembelajaran.

BAB II

KONSEP PEMBELAJARAN

Belajar merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat tanpa memandang ruang dan waktu. Berbagai hal baru yang dialami atau dilakukan manusia merupakan hasil belajar. Berbagai hal tentang belajar perlu diketahui dan dipahami pendidik agar dapat menempatkan peserta didik sebagai mana mestinya sesuai dengan tahap perkembangannya pada saat kegiatan pembelajaran agar memperoleh hasil yang optimal setelah proses pembelajaran berlangsung.

Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)  ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik Berikut adalah uraian tentang hakikat dan  berbagai teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli.

  1. Hakikat Belajar

Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya (Usman, 1995: 5). Belajar sebagai suatu proses, ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Winkel (1986: 36) menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif, konstan dan berbekas.

Belajar adalah kegiatan yang dilakukan untuk menguasai pengetahuan, kebiasaan, kemampuan, keterampilan dan sikap melalui hubungan timbal balik antara proses belajar dengan lingkungannya. Yang selanjutnya Soejanto (1997: 21) menyatakan bahwa belajar adalah segenap rangkaian aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan yang menyangkut banyak aspek, baik karena kematangan maupun karena latihan. Perubahan ini memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama. Perubahan yang relatif lama tersebut disertai dengan berbagai usaha. Sehingga  Hudoyo (1990: 13) mengatakan bahwa belajar itu merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadinya perubahan tingkah laku yang relatif lama atau tetap.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, pada intinya belajar merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan yaitu perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan tersebut adalah perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang bersifat menetap.

B.    Teori Belajar

1     Teori deskriptif dan Teori Preskriptif

Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif karena tujuan utamanya adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal sedangkan teori belajar adalah deskriptif karena tujuan utamanya adalah memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau sebagaimana seseorang belajar.

Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.

2     Teori Behavioristik

Teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Oleh karena itu teori ini dikenal dengan teori Stimulus-Respon. Belajar adalah upaya membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.

 3     Teori Kognitif

Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak  selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.

 4     Teori Konstruktivistik

Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, yang memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri peserta didik. Dengan kata lain belajar adalah upaya mengkonstruksi pengetahuan.  Dalam proses pembelajaran, otak menyimpan informasi, mengolahnya dan mengubah konsep-konsep yang ada sebelumnya menjadi bentuk pengetahuan baru.

 5     Teori Humanistik

Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika peserta didik telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, peserta didik telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.

 6     Teori Sibernetik

Teori sibernetik menekankan bahwa belajar adalah pemrosesan informasi. Teori ini lebih mementingkan  sistem informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh  sistem informasi dari pesan tersebut. oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh  sistem informasi.

Proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval). Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan proses penulusuran bergerak secara hierarkis, dari informasi yang paling umum dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang diinginkan diperoleh.

 7     Teori Revolusi-Sosiokultural

Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntunan sosiocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Ia mengemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekadar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut pendekatan ko-konstruktivisme.

Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic low of development, zone of proximal development(ZPD), dan mediasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya. Pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.

Berdasarkan teori Vygotsky, kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zone proximal Development atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Pendidikperlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya

 8     Teori Kecerdasan Ganda

Kecerdasan ganda yang dikemukakan oleh Gardner yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri dari kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan logika/matematik, kecerdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musical/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan  eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka mengembangkan keterampilan hidup. Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya berbeda-beda pada masing-masing orang dan pada masing-masing budaya. Namun secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah.

Dari hakikat dan berbagai teori belajar di atas, dapat dikatakan bahwa untuk mencapai tujuan belajar, seseorang perlu memperoleh pengalaman belajar yang memadai. Implikasi dalam pendidikan adalah pendidik harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan bakat, minat serta kebutuhan peserta didik dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada.  Hasil belajar diharapkan menjadi pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan mencerminkan kompetensi yang utuh.

Pembelajaran adalah usaha sadar dari Pendidik untuk membuat peserta didik belajar, agar  terjadi perubahan tingkah laku pada diri peserta didik yang belajar. Perubahan itu berupa kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen: (1) Peserta didik, seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. (2) Pendidik, seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisator, dan peran  lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. (3) Tujuan pembelajaran, pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi pada peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. (4) materi ajar, segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan. (5)  Metode, cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan. (6) Media, bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan informasi  kepada peserta didik. (7) Evaluasi, cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya.

C.    Peran Guru dalam Pembelajaran

Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

  1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
  2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
  3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
  4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
  5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, mencakup :

  1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
  2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems); dan
  3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Pembelajaran berbasis kompetensi adalah program pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh peserta didik, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai (McAshan, 1989:19).

Sejalan dengan Empat pilar pendidikan (UNESCO) meliputi learning to do, learning to know, learning to be, and learning to live together. Dalam proses pembelajaran, para orang dewasa tidak seharusnya memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah Pendidiklaksana botol kosong yang diisi dengan ilmu pengetahuan. Peserta didik harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia di sekitarnya (learning to know). Diharapkan hasil interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.

Pembelajaran berbasisi kompetensi sesuai dengan Prinsip Pelaksanaan Kurikulum dalam SI, bahwa di Indonesia pengembangan proses pembelajaran di kelas merujuk pada 5 pilar belajar, yaitu yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Sesuai pendapat tersebut, komponen materi pembela­jaran berbasis kompetensi meliputi: (1) kompetensi yang akan dicapai; (2) strategi penyampaian untuk mencapai kompetensi; (3) sistem evaluasi atau penilaian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan peserta didik dalam mencapai kompetensi.

Kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik perlu dirumuskan dengan jelas dan spesifik. Perumusan dimaksud hendaknya didasarkan atas prinsip “relevansi dan konsistensi antara kompetensi dengan materi yang dipelajari, waktu yang tersedia, dan kegiatan serta lingkungan belajar yang digunakan” (McAshan, 1989:20).  Konsep pembelajaran berbasis kompetensi mengisyaratkan dirumuskannya secara jelas kompetensi yang harus dimiliki atau ditampilkan peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan tolok ukur kompetensi, rangkaian kegiatan pembelajaran dan materi yang dipelajari akan menunjang pencapaian kompetensi.

Pencapaian setiap kompetensi tersebut terkait erat dengan sistem pembelajaran. Dengan demikian komponen minimal pembelajaran berbasis kompetensi adalah:

  1. pemilihan dan perumusan kompetensi yang tepat.
  2. spesifikasi indikator penilaian untuk menentukan pencapaian kompetensi.
  3. pengembangan sistem penyampaian yang fungsional dan relevan dengan kompetensi dan sistem penilaian.

Penerapan konsep dan prinsip pembelajaran berbasis kompetensi diharapkan bermanfaat untuk:

  1. menghindari duplikasi dalam pemberian materi pembelajaran yang disampaikan Pendidikharus benar-benar relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai.
  2. mengupayakan konsistensi kompetensi yang ingin dicapai dalam mengajarkan suatu mata pelajaran. Dengan kompetensi yang telah ditentukan secara tertulis, siapa pun yang mengajarkan mata pelajaran tertentu tidak akan bergeser atau menyimpang dari kompetensi dan materi yang telah ditentukan.
  3. meningkatkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, dan kesempatan peserta didik.
  4. membantu mempermudah pelaksanaan akreditasi. Pelaksanaan akreditasi akan lebih dipermudah dengan menggunakan tolok ukur SK.
  5. memperbarui sistem evaluasi dan pelaporan hasil belajar peserta didik. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, keberhasilan peserta didik diukur dan dilaporkan berdasar pencapaian kompetensi atau subkompetensi tertentu, bukan didasarkan atas perbandingan dengan hasil belajar peserta didik yang lain.
  6. memperjelas komunikasi dengan peserta didik tentang tugas, kegiatan, atau pengalaman belajar yang harus dilakukan dan cara yang digunakan untuk menentukan keberhasilan belajarnya.
  7. meningkatkan akuntabilitas publik. Kompetensi yang telah disusun, divalidasikan, dan dikomunikasikan kepada publik, sehingga dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan pembelajaran kepada publik.
  8. memperbaiki sistem sertifikasi. Dengan perumusan kompetensi yang lebih spesifik dan terperinci, sekolah dapat mengeluarkan sertifikat atau transkrip yang menyatakan jenis dan aspek kompetensi yang dicapai.

E.  Perangkat Pembelajaran

1.  Silabus

Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai “Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Salim, 1987: 98). Istilah silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum yang berupa penjabaran lebih lanjut dari SK dan KD yang ingin dicapai, materi pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai SK dan KD. Seperti diketahui, dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan SK yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin dicapai, materi yang harus dipelajari, pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian SK.

Silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengem­bangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik rencana pembelajaran untuk satu SK maupun satu KD. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi sistem penilaian selalu mengacu pada SK, KD, dan indikator yang terdapat di dalam silabus.

2.  RPP

Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa:

”Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.

Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses menjelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan ke­giatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap Pendidikpada satuan pendidikan berkewajiban menyusun  RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

F. Pendidikan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan yang diharapkan. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan tokoh-tokoh dunia sukses karena mempunyai soft skill yang lebih besar daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Penekanan internalisasi nilai-nilai utama tertentu pada pendidikan karakter telah dianut oleh sejumlah negara. Australia, misalnya, melalui Values Education yang dikembangkannya menekankan pada diperkenalkan, disadari, dan diinternalisasinya sembilan karakter utama, yaitu:

Care and compassion

  1. Doing your best
  2. Fair go
  3. Freedom
  4. Honesty and trustworthiness
  5. Integrity
  6. Respect
  7. Responsibility
  8. Understanding, tolerance, and inclusion

Berikut merupakan contoh nilai-nilai karakter yang dapat dijadikan sekolah sebagai nilai-nilai utama yang diambil/disarikan dari butir-butir SKL dan mata pelajaran-mata pelajaran SMA yang ditargetkan untuk diinternalisasi oleh peserta didik.

  1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
    1. Religius
    2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
    3. Jujur
    4. Bertanggung jawab
    5. Bergaya hidup sehat
    6. Disiplin
    7. Kerja keras
    8. Percaya diri
    9. Berjiwa wirausaha
    10. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
    11. Mandiri
    12. Ingin tahu
    13. Cinta ilmu
    14. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
    15. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
    16. Patuh pada aturan-aturan sosial
    17. Menghargai  karya dan prestasi orang lain
    18. Santun
    19. Demokratis
    20. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
    21. Peduli sosial dan lingkungan
    22. Nilai kebangsaan
    23. Nasionalis
    24. Menghargai keberagaman

Segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik merupakan pendidikan karakter. Pendidikmembantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara Pendidikberbicara atau menyampaikan materi, bagaimana Pendidikbertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.

Pembentukan karakter tidak dapat dilakukan secara instan namun memerlukan proses yang panjang dan berkesinambungan agar nilai-nilai yang akan dikembangkan dapat terinternalisasi pada diri peserta didik. Perkembangan nilai-nilai tersebut perlu dipantau dan diukur sesuai dengan deskripsi nilai-nilai yang sudah disusun. Pendidikan karakter yang dikembangkan melalui pembelajaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang diintegrasikan pada kegiatan pembelajaran perlu dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran yaitu pada silabus dan RPP agar terarah dan terukur serta sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Tentang ujangsuherman

Berpikirlah selalu positif
Pos ini dipublikasikan di Pendidikan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar